TUGASKU BUANYAAK SEKALI ......
SIKAP
PERSPEKTIF TERHADAP MORAL SEORANG ILMUWAN
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, seiring
banyaknya tuntutan keperluan hidup manusia. Di sisi lain, timbul kekhawatiran
yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu itu, karena tidak ada seorang pun
atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari
perkembangan ilmu. Menurut John Naisbitt, era informasi menimbulkan gejala
mabuk teknologi yang ditandai dengan beberapa indikator, diantaranya masyarakat
lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, dari masalah agama hingga
masalah gizi, dan masyarakat mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang
semu.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang
mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan
saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan hakikat
kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan
sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan
mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu
bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Sebagai sebuah kajian filsafat, ilmu dapat dikaji dalam
perspektif hakikat dan memposisikannya dalam sudut landasan Ontologi, obyek apa
yang ditelaah ilmu ?, Epistemologi, bagaimana proses yang memungkinkan
ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?, Aksiologi, untuk apa pengetahuan
yang berupa ilmu itu dipergunakan?
Mengkaji ilmu dari sudut pandang filsafat, berarti menyelami hakikat ilmu lewat pendekatan; menyeluruh/universal, mendasar, spekulatif, radikal, konseptual, bebas, dan bertanggungjawab. Pandangan ini akan memberi gambaran, bahwa ilmu sebagai sesuatu yang mulia dianugerahkan Allah Swt kepada umat manusia ternyata terkait erat dengan moral.
Mengkaji ilmu dari sudut pandang filsafat, berarti menyelami hakikat ilmu lewat pendekatan; menyeluruh/universal, mendasar, spekulatif, radikal, konseptual, bebas, dan bertanggungjawab. Pandangan ini akan memberi gambaran, bahwa ilmu sebagai sesuatu yang mulia dianugerahkan Allah Swt kepada umat manusia ternyata terkait erat dengan moral.
Sikap pribadinya namun
pada hakekatnya mencerminkan sikap kelembagaan profesi keilmuan dalam
menanggapi masalah-masalah moral social. Untuk membahas ruang lingkup yang
menjadi tanggung jawab seorang ilmuwan, maka hal ini dapat dikembalikan kepada
hakekat ilmu itu sendiri. Sikap social seorang ilmuwan adalah konsisten pada
proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Sering dikatakan orang bahwa ilmu
itu terbebas dari nilai. Dalam hal ini masalah apakah ilmu itu terikat atau
bebas dari nilai-nilai ilmuwan yang mempunyai tanggung jawab social yang
terpikul di bahunya. Bukan saja karena dia sebagai warga masyarakat yang
berkepentingan terlibat secara langsung di masyarakat, namun yang lebih penting
adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup
masyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan yang tidak berhenti pada penelaahan dan
keilmuan secara individu
Dalam makalah ini akan membahas Ilmu dalam Perspektif Moral
dengan pendekatan segi ontologi, epistemologi dan aksiologi. "Ilmu tanpa
bimbingan moral (agama) adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh"
(Albert Einstein 1879-1917)
A. Hakekat ilmu
Manusia adalah makhluk yang berfikir. Karena berfikir itulah
manusia dapat dikatakan sebagai manusia. Menurut Jujun S. Suriasumantri,
berfikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan.
Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan
pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berfikir, merupakan
obor dan semen peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati
hidupnya dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk
meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang
diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan
batu zaman dulu sampai dunia komputer saat ini. Berbagai masalah memasuki benak
pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah
pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya. Masalah
yang menjadi bahan pemikiran manusia, begitu banyak dan beragam. Namun pada
hakikatnya upaya manusia untuk mendapatkan pengetahuan karena dilandasi oleh
tiga masalah pokok yaitu; landasan ontologis, Obyek apa yang ditelaah ilmu ?,
landasan epistemologis, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya
pengetahuan yang berupa ilmu?, landasan aksiologis, untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu dipergunakan?
Ilmu atau sains berarti teori yang pada dasarnya menerangkan
hubungan sebab akibat. Ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan
melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih
lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari,
serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah
lingkungan serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das sein), sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia (das sollen). Dalam kajian filsafat ilmu, pembahasan ilmu selalu dikaitkan dengan landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Landasan Ontologis, ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Obyek penelaahan yang berada dalam batas pra pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca pengalaman (seperti surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ontologis membahas tentang yang ada, universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Landasan Epistemologis, membahas bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Landasan Aksiologis, membahas untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das sein), sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia (das sollen). Dalam kajian filsafat ilmu, pembahasan ilmu selalu dikaitkan dengan landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Landasan Ontologis, ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Obyek penelaahan yang berada dalam batas pra pengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca pengalaman (seperti surga dan neraka) diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ontologis membahas tentang yang ada, universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Landasan Epistemologis, membahas bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Landasan Aksiologis, membahas untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
Ilmu yang diterapkan di dalam masyarakat hendaknya bertujuan
untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Adalah sangat bijaksana
apabila manusia-manusia di muka bumi ini dapat memanfaatkan ilmunya untuk
mempelajari berbagai gejala atau peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai
manfaat bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan ilmu hendaknya membatasi diri pada
hal-hal yang asasi, dan semua orang akan menyambut gembira bila ilmu ini
benar-benar dimanfaatkan bagi kemaslahatan manusia.
B. Moral
Moral, diartikan sebagai Etika (Ilmu
Akhlak) sejak sekitar abad ke 5 Sebelum Masehi sudah banyak dibicarakan secara
mendalam, didiskusikan dan dianalisa dikalangan para pemikir yang memfokuskan
diri pada Falsafah Hidup dan Perilaku manusia.
Dari seluruh pemikiran selama berabad abad mengenai moral barangkali bisa disimpulkan secara sederhana walau jauh dari sempurna; bahwa : “Moral (Ilmu Akhlak)” ini erat hubungannya dengan perilaku manusia yang tulus keluar dari batin sanubari dalam tiap pemikiran, perkataan, perbuatan (tindakan) nyata dalam koridor yang pasti untuk tidak menyakiti baik lahir mapun batin, menindas, menyinggung, meremehkan, melecehkan, merendahkan dan menghilangkan hak pribadi serta menginjak martabat pihak lain secara terbuka maupun tersembunyi dimana dia berada atau dalam jangkauannya serta mutu akhlaknya bisa diterima sebagian besar umat manusia”. Karenanya moral selalu berhubungan dengan cara berpikir manusia yang dicetuskan dalam perilaku nyata dan bisa dinilai oleh pihak sesamanya baik melalui cara mendengar, melihat, merasa (diolah dalam pikiran dan hati sanubari), dibuktikan dan terlihat dengan jelas segala perbuatan dan tindakannya yang sesuai antara kata dan perbuatan.
Dari seluruh pemikiran selama berabad abad mengenai moral barangkali bisa disimpulkan secara sederhana walau jauh dari sempurna; bahwa : “Moral (Ilmu Akhlak)” ini erat hubungannya dengan perilaku manusia yang tulus keluar dari batin sanubari dalam tiap pemikiran, perkataan, perbuatan (tindakan) nyata dalam koridor yang pasti untuk tidak menyakiti baik lahir mapun batin, menindas, menyinggung, meremehkan, melecehkan, merendahkan dan menghilangkan hak pribadi serta menginjak martabat pihak lain secara terbuka maupun tersembunyi dimana dia berada atau dalam jangkauannya serta mutu akhlaknya bisa diterima sebagian besar umat manusia”. Karenanya moral selalu berhubungan dengan cara berpikir manusia yang dicetuskan dalam perilaku nyata dan bisa dinilai oleh pihak sesamanya baik melalui cara mendengar, melihat, merasa (diolah dalam pikiran dan hati sanubari), dibuktikan dan terlihat dengan jelas segala perbuatan dan tindakannya yang sesuai antara kata dan perbuatan.
Ada perkecualian yang tidak terjadi
pada tiap manusia dimana “Moral” harus tetap dijunjung tinggi dan dipertahankan
dengan segala pengorbanan, tawakal, pengekangan dan kontrol diri yang kuat
serta mawas diri apabila seseorang sudah berani berketetapan hati untuk tampil
menjadi “Panutan-Suri Teladan” sesamanya, apalagi tidak tanggung tanggung
dengan menempatkan diri pada posisi ditengah masyarakat luas (Negara) dengan
menampilkan baik pemikiran, kata maupun perbuatan (kelakuan) penuh keteladanan,
diikuti, diidolakan serta dikagumi dan dihormati pengikutnya dalam jumlah
besar.
Moral yang berkembang seiring dengan
peradaban manusia, mencoba mengajarkan agar manusia mengetahui hal yang baik
dan buruk yang berhubungan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran
agamanya. Kata moral mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang
moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai
manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya
sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan
bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas Sejatinya, peranan moral dalam
menghadapi perkembangan ilmu seperti diuraikan di atas sangat dipengaruhi
bagaimana pandangan manusia melihat ilmu itu sendiri yang secara terus menerus
dikembangkan oleh manusia.
Penilaian moral diukur dari sikap
manusia sebagai pelakunya, timbul pula perbedaan penafsiran. Penggunaan bom
atom, misalnya dianggap tidak etis karena menghancurkan kehidupan umat manusia.
Meski demikian, bagi pelaku yang bersangkutan dengan menggunakan bom atom, hal
ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kelompok umat manusia. Misalnya, dengan
penggunaan bom atom, maka suatu negara dapat membenarkan atas nama melindungi warga
negaranya dalam keadaan perang. Pembenaran, dengan demikian, selalu bisa
dimunculkan bergantung pada konteks situasi yang dihadapi
C. Ilmu Dalam Perspektif Moral
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu
sudah terkait dengan masalah moral. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan
teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar
mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam
ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber
pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin
mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan
agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat
dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari
interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada
penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada
tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan
bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Ketika ilmu dapat mengembangkan
dirinya, yakni dari pengembangan konsepsional yang bersifat kontemplatif
disusul penerapan-penerapan konsep ilmiah ke masalah-masalah praktis atau
dengan perkataan lain dari konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam
bentuk konkret yang berupa teknologi, konflik antar ilmu dan moral berlanjut.
Seperti kita ketahui, dalam tahapan penerapan konsep tersebut ilmu tidak saja
bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman,
tetapi lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam
gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Bertrand
Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontemplasi
ke manipulasi”.
Dalam tahap manipulasi masalah moral
muncul kembali. Kalau dalam kontemplasi masalah moral berkaitan dengan
metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan
cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara filsafati dapat dikatakan bahwa
dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi
ontologis keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah
moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Aksiologi itu sendiri adalah
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dihadapkan dengan masalah moral
dalam menghadapai ekses ilmu yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke
dalam dua golongan pendapat. Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu
harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun
aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan
terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan
itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Ilmuwan
golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asa moral.
Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni, (1) ilmu
secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi
keilmuan; (2) ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga
kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila
terjadi salah penggunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa
sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan
yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan
sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu
secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat
atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Pendekatan secara ontologis,
epistemologis dan aksiologis memberikan 18 asas moral yang terkait dengan
kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokkan
menjadi dua yakni kelompok asas moral yang membentuk tanggung jawab profesional
dan kelompok yang membentuk tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab profesional lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuwan dalam pertanggung jawaban moral yang berkaitan dengan landasan epistemologis. Tanggung jawab profesional ini mencakup asas (1) kebenaran; (2) kejujuran; (3) tanpa kepentingan langsung; (4) menyandarkan kepada kekuatan argumentasi; (5) rasional; (6) obyektif; (7) kritis; (8) terbuka; (9) pragmatis; dan (10) netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas.
Tanggung jawab profesional lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuwan dalam pertanggung jawaban moral yang berkaitan dengan landasan epistemologis. Tanggung jawab profesional ini mencakup asas (1) kebenaran; (2) kejujuran; (3) tanpa kepentingan langsung; (4) menyandarkan kepada kekuatan argumentasi; (5) rasional; (6) obyektif; (7) kritis; (8) terbuka; (9) pragmatis; dan (10) netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas.
Suatu peradaban yang ditandai dengan
masyarakat keilmuan yang maju secara sungguh-sungguh melaksanakan asas moral
ini terutama yang menyangkut asas kebenaran, kejujuran, bebas kepentingan dan
dukungan berdasarkan kekuatan argumentasi. Seorang yang melakukan
ketidakjujuran dalam kegiatan ilmiah mendapatkan sanksi yang konkrit; dan
sanksi moral dari sesama ilmuwan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan
dengan sanksi legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi seorang ilmuwan
selain menjadi seorang paria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat
keilmuan. Di negara kita sanksi moral ini belum membudaya dan hal inilah yang
menyebabkan suburnya upaya-upaya amoral dalam kegiatan keilmuan.
Mengenai tanggung jawab sosial yakni
pertanggung jawaban ilmuwan terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral
mengenai pemilihan etis terhadap obyek penelaahan keilmuan dan penggunaan
pengetahuan ilmiah terdapat dua tafsiran yang berbeda. Kelompok ilmuwan pertama
menafsirkan bahwa ilmuwan harus bersikap netral artinya bahwa terserah kepada
masyarakat untuk menentukan obyek apa yang akan ditelaah dan untuk apa
pengetahuan yang disusun kaum ilmuwan itu dipergunakan. Sedangkan kelompok ilmuwan
kedua berpendapat bahwa ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang bersifat
formal dalam mendekati kedua permasalahan tersebut di atas.
Einstein dan Socrates mungkin benar,
ilmu pengetahuan ternyata juga mendatangkan malapetaka bagi manusia. Ilmu pengetahuan
politik, ekonomi, sosial, informasi dan komunikasi, teknologi dan militer dapat
saja mendatangkan kesejahteraan, sekaligus menimbulkan malapetaka bagi manusia.
Sosiolog Rene Descartes mengatakan “ilmu tanpa moral adalah buta, moral tanpa
ilmu adalah bodoh”. Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik
berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika,
tetapi juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban
pengambilan keputusan. Meski demikan, teori etika memberikan kerangka analisis
bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat
kemanusiaan:
1. Peran moral adalah mengingatkan agar
ilmu boleh berkembang secara optimal, tetapi ketika dihadapkan pada masalah
penerapan atau penggunaannya harus memperhatikan segi kemanusiaan baik pada
tataran individu maupun kelompok.
2. Peran moral berimplikasi pada
signifikansi tanggung jawab, yakni tanggungjawab moral dan sosial. Dalam
konteks ini, tanggungjawab moral menyangkut pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas
dari tanggungjawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya. Bahwa ilmu tersebut
harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak manusia.
3. Dari sisi tanggung jawab sosial,
ilmuwan memiliki dan memahami secara utuh tentang kesadaran bahwa ilmuwan
adalah manusia yang hidup atau berada di tengah-tengah manusia lainnya.
4. Perlunya ilmu dan moral (bagian dari
suatu kebudayaan yang dikembangkan dan digunakan manusia) seyogyanya berjalan
seiring. Ketika manusia mengaplikasikan hasil pengembangan ilmu dalam format
penemuan (pengetahuan) atau teknologi baru, moral akan mengikuti atau
mengawalnya. Hal tersebut dimaksudkan bagi kepentingan penghormatan atas
martabat kemanusiaan.
5. Hal tersebut di atas, membuat para
ilmuwan harus mempunyai sikap formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah.
Bagi kita sendiri yang hidup dalam masyarakat Pancasila, tidak mempunyai
pilihan lain selain konsisten dengan sikap kelompok ilmuwan kedua, dan secara
sadar mengembangkan tanggung jawab sosial di kalangan ilmuwan dengan Pancasila
sebagai sumber moral (das sollen) sikap formal kita.
Tetapi dalam kenyataannya, mekanisme pendidikan di Indonesia, dengan menempatkan kreatifitas intelektualitas (mengutamakan kemampuan keilmuan) sebagai landasan pembangunan negara tapi seringkali melupakan kreatifitas moralitas (pendidikan moral agama/religius) sehingga telah menggiring Indonesia ke arah kebobrokan.
Tetapi dalam kenyataannya, mekanisme pendidikan di Indonesia, dengan menempatkan kreatifitas intelektualitas (mengutamakan kemampuan keilmuan) sebagai landasan pembangunan negara tapi seringkali melupakan kreatifitas moralitas (pendidikan moral agama/religius) sehingga telah menggiring Indonesia ke arah kebobrokan.
II.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam kajian filsafat ilmu,
pembahasan ilmu selalu dikaitkan dengan landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologis.
2. Ilmu berupaya mengungkapkan realitas
sebagaimana adanya (das sein), sedang moral pada dasarnya adalah
petunjuk-petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh mansuia (das
sollen).
3. Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan
alternatif-alternatif untuk membuat berbagai keputusan strategis dengan
berkiblat kepada pertimbangan-pertimbangan moral ethis.
4. Ilmuwan mempunyai tanggung jawab
profesional, khususnya di dunia ilmu dan dalam masyarakat keilmuwan itu sendiri
dan mengenai metodologi yang dipakainya. Ia juga memiliki tanggung jawab
sosial, yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya, dan
tanggung jawab moral yang lebih luas cakupannya.
5. Masalah moral bukan saja hanya
terdapat pada taraf penggunan hasil ilmu, tetapi juga sudah pada taraf
pembuatannya.
B. SARAN
Para
ilmuwan harus mempunyai sikap formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah.
Bagi kita sendiri yang hidup dalam masyarakat Pancasila, tidak mempunyai
pilihan lain selain konsisten dengan sikap sebagai ilmuwan, dan secara sadar
mengembangkan tanggung jawab sosial di kalangan ilmuwan dengan Pancasila
sebagai sumber moral (das sollen) sikap formal kita.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,
Abu, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, tt)
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
http://pusatbahasa.diknas.go.id/laman/nawala.php?info=artikel&infocmd=show&infoid=41&row=2
http://solafidesjustificate.blogs.friendster.com/sola_fides_justificate/
http://www.kyokushin.or.id/artikel9.php
http://penakayu.blogdrive.com/comments?id=102
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/filsafat-ilmu/
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/category/about-my-blog/filsafat/
http://www.indomedia.com/serambi/2003/08/140803opini.htm
Jung, Carl Gustav, Psychology and Literature, The Creative Process.ed. Brewster Ghiselin, (New York: Mentor, 1960)
Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V: Buku I A Filsafat Ilmu, Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi, Jakarta, 1982/1983
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. XXI. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007)
Suriasumantri, Jujun S., Penyunting. Ilmu Dalam Perspektif, Cet. XVI (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003)
Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Cet. XXI. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989)
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004)
www.phil.vt.edu./Miller/papers/science.html.
Wibisono, Koento,. Dasar-Dasar Filsafat (Jakarta: Universitas Terbuka, 1997)
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
http://pusatbahasa.diknas.go.id/laman/nawala.php?info=artikel&infocmd=show&infoid=41&row=2
http://solafidesjustificate.blogs.friendster.com/sola_fides_justificate/
http://www.kyokushin.or.id/artikel9.php
http://penakayu.blogdrive.com/comments?id=102
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/filsafat-ilmu/
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/category/about-my-blog/filsafat/
http://www.indomedia.com/serambi/2003/08/140803opini.htm
Jung, Carl Gustav, Psychology and Literature, The Creative Process.ed. Brewster Ghiselin, (New York: Mentor, 1960)
Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V: Buku I A Filsafat Ilmu, Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Institusi Pendidikan Tinggi, Jakarta, 1982/1983
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. XXI. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007)
Suriasumantri, Jujun S., Penyunting. Ilmu Dalam Perspektif, Cet. XVI (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003)
Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Cet. XXI. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989)
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004)
www.phil.vt.edu./Miller/papers/science.html.
Wibisono, Koento,. Dasar-Dasar Filsafat (Jakarta: Universitas Terbuka, 1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar